White Matter Desease (Penyakit yang Menyerang Substansia Alba)
Grossman, Robert I. & Yousem, David M. 1994. White Matter Desease (Penyakit yang Menyerang Substansia Alba). Neuroradiology: The Requisites.USA: Mosby Year Book Inc.
White matter atau disebut juga dengan substansia alba merupakan bagian dari otak yang berwarna putih yang merupakan bagian penghantar otak dan medula spinalis serta tersusun sebagian besar oleh serat-serat bermielin. Penyakit yang menyerang substansia alba mempunyai spektrum etiologi yang luas. Computed tomography (CT) maupun magnetic resonance imaging (MRI) memberikan spesifitas pemeriksaan yang memuaskan terhadap penyakit tersebut. Langkah pertama dalam proses membuat diagnosis tersebut melalui pendekatan secara holistik.
Demyelinating disorders (penyakit demielinasi) adalah kerusakan mielin normal akibat proses atau bahan tertentu. Meskipun etiologinya belum jelas, namun penyakit ini dapat dibagi berdasarkan proses utama demielinasi yang terjadi.
Dysmyelinating disorders (penyakit dismielinasi) merupakan kondisi intrinsik atau pemeliharaan mielin yang abnormal akibat gangguan enzimatik Penyakit ini jarang terjadi, meskipun tidak selalu, tetapi biasanya penyakit ini menyerang anak-anak maupun dewasa, dengan MRI akan tampak gambaran khas. Beberapa penyakit seperti adrenoleukodystrophy (adrenoleukodistrofi) mempunyai karakteristik proses demielinasi dan dismielinasi (meskipun pada Tabel 7-1 digolongkan menjadi penyakit dismielinasi). Leukodistrofi disebut juga penyakit dismielinasi, hal tersebut berarti kelainan utamanya adalah pada mielin.
1. Penyakit Demielinasi Primer
1.1. Multipel Sklerosis
Epidemiology. Multiple skclerosis merupakan demyelinating disease yang paling sering terjadi dalam prktek kedokteran. Pertama kali ditemukan oleh Charcot pada tahun 1868. Diagnosis ditegakkan dengan adanya lesi pada white matter yang menetap dan pada tempat yang sama. Dilakukan pemeriksaan neurologis dua kali atau lebih pada lesi di white matter dengan jarak pemeriksaan kurang lebih satu bulan dengan lokasi pemeriksaan yang berbeda. Prevalensinya berbeda-beda berdasarkan letak geografisnya, yang mana ankanya meningkat pada daerah di utara maupun selatan dari garis ekuator. MS dalam satu abad ini telah banyak diteliti untuk diketahui patofiologinya, namun sampai saat ini belum ditemukan etiologi dan patofiologinya secara tepat.
Akan tetapi banyak sekali perhatian terhadap apenyakit ini, dan hal ini penting dalam menegakkan diagnosis. MS pada umumnya terjadi pada antara decade dua sampai lima dari kehidupan penderita. Ini juga dapat ditemukan pada penderita pediatric dan penderita di atas 50 tahun. Diperkirakan penderita MS dapat bertahan hidup sampai usia 55 tahun atau lebih. Dan predominan pada wanita. Gejalanya dapat meliputi cerebral palsy, neuritis, gangguan sensorik, para plegi dan myelopathy. Adanya perubahan yang nyata dari kemampuan intelegensi pada penderita MS.
Lesi pada MS mempunyai predileksi pada regio otak tertentu meliputi daerah periventrikular, corpus callosum, regio visual, fossa porterior (termasuk brain stem dan pedunculus cerebri) dan regio cervical dari medulla spinalis. Akan tetapi lesi ini juga dapat terjadi pada daerah lainnya. Misalnya pada daerah cortex, yang mana jaringan white matter ini melewatio pada sel cortical superficial dan pada daerah gray matter yang cukup dalam. Adanya penampakan tiga atau lebih intensitas tinggi yang abnormal pada white matter di daerah tersebut mempunyai afinitas untuk MS, pasien dengan riwayat penyakit yang sesuai, membantu menegakan secara klinis dari penderita MS. Lesi yang berbentuk bulat yang mengikuti dari morfologi Downson’s fingers juga merupakan salah satu cara untuk penegakkan diagnosis MS.
Manifestasi klinis. Tidak ada pemeriksaan yang spesifik untuk membuat diagnosis pasti dari multiple sclerosis. Pada 60 % kasus pada penyakit ini adanya suatu karakteristik eksaserbasi dan remisi. Selama waktu dari disfungsi neurologic meningkat remissi menjadi kurang lengkap. Keadaan kronis yang progresif juga dapat terjadi. Dalam beberapa kasus pasien dengan keadaan neurologis yang progresif ditemukan adanya eksaserbasi dan remisi. Keadaan akut yang jarang terjadi bersifat progresif secara cepat dengan penurunan kemampuan yang cukup parah dan menyebabkan kematian dalam beberapa bulan. Dalam beberapa kasus, kejadian tersebut sebenarnya adalah demyelinating yang lain, yaitu acute disseminated encephalomyelitis. Jadi pada keadaan demyelinating lesion dapat ditemukan pada pasien yang asimtomatis.
Diagnosis Klinis. Diagnosis klinis multiple sclerosis menurut criteria Schumacher dibuat berdasarkan riwayat atau pemeriksaan neurologis yang terdiri dari dua atau lebih lesi pada white matter dengan ditandai (1) dua atau lebih episode yang memburuk, masing-masing berlansung paling tidak 24 jam dan setiap episode dalam jangka waktu satu bulan, atau (2) bersifat perlahan dari tanda atau gejala yang ditemukan setidaknya dalam waktu 6 bulan.
Penemuan klinis lebih lanjut seharusnya tidak melibatkan mekanisme lainnya. Meskipun diagnosis yang pertama kali dibuat pada saat pemeriksaan klinis primer, MS memiliki aturan baku dalam menentukan diagnosis klinis. Kita harus berhati-hati terhadap beberapa kasus yang dengan pemeriksaan MR negative MS pada pemeriksaan otak dan medulla spinalis. Penyebaran lesi dibedakan antara a cute disseminated encephalomyelitis dan penyakit monophasik lainnya yang mempunyai tanda klinis dan prognosis yang berbeda. Diperkirakan 70 % pasien MS mengalami peningkatan Ig M pada liquor cerebrospinal dan sekitar 90 % adanya peningkatan oligoclonal bands.
Patologis. Multiple sclerosis diperkirakan suatu penyakit pada oligodendroglia (sel yang memproduksi myelin) atau membrane myelin. Ada pemecahan myelin dengan pengurangan axon atau oligodendroglia. Beberapa lesi akut MS mungkin dirombak tetapi hasilnya pada demyelination. Ada bukti yang mengatakan beberapa lesi mungkin mengalami remyelinasi. Sebagian remyelinasi menjadi plak. Plak MS yang kronis terdiri dari region gliotic yang tidak ada myelin.
Multiple sclerosis akut secara patologi menyebabkan inflamasi perivenous yang terdiri dari sel plasma, limfosit dan makrofag. Lesi juga mengandung cairan edema, lemak bebas, dan lelak yang memuat makrofag. Demyelinisasi mungkin berhubungan dengan inflamasi tersebut. Inflamasi pada lesi terdiri dari infiltrasi limfosit sepanjang pembuluh darah di periventrikel medular untuk menunjang proses demyelinisasi, yang diistilahkan dengan Dawson’s finger (Gambar 7.1).
Gambar 7.1 Dawson’s finger A. axial PDWI menunjukkan lesi berbentuk bulat yang diikuti oleh pembuluh darah radial. Kenampakan tersebut disebut dengan Dawson’s fingers (yang ditunjuk oleh anak panah). B. diagram diatas menunjukkan lesi MS perivenous (area yang diarsir) mengelilingi pembuluh darah medular (tanda panah) yang berasal dari ujung frontal ventricle lareralis (V). Dawson’s finger ini bertanggung jawab terhadap kenampakan lesi yang berbentuk bulat.
Imaging Finding dan Teknik. Lesi dari multiple sclerosis adalah isointensitas sampai intensitas rendah pada T1-Weightd images (T1WI) dan intensitas tinggi pada proton density-weighted image (PDWI) dan T2-Weighted Image (T2WI). Karena lesi sring berbatasan dengan Cerebrospinal Fluid pada periventricular white matter, lesi ini sebagian besar nampak dengan kandunga intensitas tinggi dibandingkan dengan intensitas yang kurang pada CSF dan daerah sekitar white matter yang normal, yaitu P1WI. Sedangkan jajaran rangsangan yang lain dapat dilaksanakan dengan tujuan yang sama untuk meningkatkan kenampakan dari lesi di sekitar ventricle dan region subcortical, tetapi lesi tersebut terletak di luar wilayah text. Kemampuan mendeteksi lesi yang berjajar dengan CSF sulit jika keduanya memiliki intensitas yang sama. Hal ini menimbulkan masalah dengan T2WI. Kadang-kadang pada gambar TR lesi yang panjang mungkin mempunyai derajat dari intensitas tinggi, dengan intensitas lebih tinggi di daerah centralnya dibandingkan peripheral.
Keberadaan MR adalah suatu metode tunggal yang terbaik untuk mendeteksi lesi multiple sclerosis. Tidak hanya lebih sensitive dari pada CT dalam mendeteksi plak, tetapi dapat mendeteksi lesi pada medulla spinalis. Hal ini penting karena 2 % sampai 20 % pasien dengan MS mempunyai lesi pada cervical dan penemuan otak yang normal dengan pemeriksaan MR. Lesi dengan intensitas yang tinggi mempunyai berbagai macam variasi penampakannya. Bisa berukuran kecil dan berupa titik atau besar dan bercabang-cabang (Gambar 7.2).
Gambar 7.2 Lesi MS yang mengilustrasikan ukurannya yang berubah-ubah. Lesi yang kecil ditunjukkan oleh panah hitam sedangkan yang berukuran besar ditunjukkan oleh panah berwarna putih.
Posisi anatominya dalam keadaan yang kritis. Lesi yang kecil pada lokasi yang penting dapat menyebabkan defisitnya neuron (Gambar 7.3).
Gambar 7.3 lesi MS (tanda panah) pda pasien dengan VI palsy. Lesi terletak pada daerah saraf nucleus VI.
Pada corpus callosum (pada persambungan dengan septum pellucidum) adalah suatu struktur yang cukup resisten terhadap atherosclerosis. Gambaran MR potongan sagital dan koronal menunjukkan adanya suatu lesi pada permukaan callosalseptal dilaporkan memiliki derajat sensitivitas yang tinggi (93%) dan spesifitas (98%) pada penderita-penderita MS dari penyakit vaskuler (Gambar 7.4).
Gambar 7.4 Multiple Sclerosis. A T2WI potongan sagital menunjukkan adanya lesi minimal pada MS dengan bidang sagital (panah hitam), panah putih menunjukkan lesi pada permukaan septum callosum. B. contoh potongan coronal yang patologis ditunjukkan proses demyelinisasi pada bagian septum callosum. Arteri cerebri anterior ditandai dengan (a) dibawah arteri cerebri anterior adalah corpus callosum (CC). lubang pada corpus callosum yang rusak pada septum callosum ditandai dengan panah hitam. S, septum pellucidum
Bentuk lesi yang bulat pada sagital plane telah didiskripsikan sebagai akibat dari proses inflamasi di sekitar axis dari pembuluh darah medular (Dawson’s fingers)(Gambar 7.5).
Gambar 7.5 MR potongan sagital yang menunjukkan adanya lesi hipointensitas yang berbentuk bulat pada T1WI. Ini menunjukkan adanya demyelinisasi sepanjang Dawson’s fingers (tanda panah).
MS mungkin terkadang nampak adanya suatu lesi berupa dengan penambahan massa (Gambar 7.6).
Gambar 7.6 MS yang bengkak. A. lesi pada gambar menunjukkan kenampakan seperti butterfly glioma. T1WI sagital menunjukkan pembesaran dari splenium corpus callosum (tanda panah). B T/ WI pada pasien yang sama nampak adanya lesi intensitas sinyal tinggi pada region occipital (nampak seperti butterfly glioma), C. peningkatan T1WI menunjukkan adanya peningkatan secara bilateral.
Hal tersebut diistilahkan dengan multiple sclerosis yang membengkak. Diagnosisnya mungkin sulit ditegakkan pada kasus tersebut. Waktu dan jarak lesi lainnya dengan massa berguna dalam memisahkan presentasinya dengan penyakit lainnya seperti tumor dan abses. Lesi pada MS sebagian besar tidak dihubungkan dengan efek massa dan oleh sebab itu dapat dibedakan dengan tumor atau inflamasi lainnya. Tanda lainnya untuk MS adalah sedikitnya dari gray matter. Ketika lesi mengenai daerah whte matter, itu akan menyebabkan adanya kelainana pada white matter bahkan jika penampakannya atipik. Akan tetapi, lesi MS dapat mempengaruhi struktur gray matter (Gambar 7.7).
Gambar 7.7 gambaran lesi cortical yang besar pada PDWI pasien MS. MD biasnya juga menyerang Gray matter meliputi cortex.
Pada keadaan T1WI dengan intensitas tinggi dapat diobservasi secara periodic, hampir sering pada perifer plak. Penyebab dari fenomena tersebut belum dapat dijelaskan, tetapi ada hipotesis yang menyatakan adanya sejumlah kecil dari penumpikan paramagnetic dari hemoragic (MS plak jarang dilaporkan menjadi hemoragik), katabolisme myelin yaitu lemak, produksi radikal bebas dari respon inflamasi, atau meningkatnya protein.
Multiple sclerosis akut sering meningkat. Peningkatan pola pada T1WI mungkin dalam bentuk nodul, cincin, atau busur (gambar 7.8).
Gambar 7.8 pola peningkatan pada MS. A. T1WI menunjukkan peningkatan dengan bentukan cincin (tanda panah). B, pasien lain dengan tipe peningkatan pada T1WI, C. bentuk peningkatan nodular yang besar pada T1WI (tanda panah). Catatan bahwa lesi biasanya terletak di perifer menyerang daerah subcortical dan gray matter.
Peningkatan biasanya terjadi sesaat setelah injeksi, meskipun hal ini jarang terjadi. Lesi mungkin akan nampak pada scan (30 menit). Dalam kasus yang utama peningkatan lesi adalah intensitas tinggi pada PDWI/T2WI. Jarangnya adanya peningkatan mungkin didahului oleh penyakit yang aktif dengan suatu keadaan Blood brain barrier yang abnormal. Ini merupakan fenomena sementara yang berlangsung sekitar 2 sampai 8 minggu. Pada PDWI/T2WI selama waktu tersebut, lesi umumnya seperti lilin dan ukurannya menyusut. Sering juga nampak adanya bagian yang tersisa lesi dengan intensitas tinggi pada PDWI/T2WI. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa les MS bersifat dinamik. Lesi akut mungkin terdiri dari edema dengan sedikit demyelinisasi dan ada bukti yang menyatakan bahwa remyelinisasi mungkin juga terjadi. Oleh sebab itu tidak mengejutkan apabila ada suatu peningkatan, lesi MS secara total tidak nampak lagi. Lebih jauh lagi, lesi MS mungkin berubah sepanjang waktu. Sayangnya, pengulangan imaging pada MS untuk bagian otak atau matter yang mengalami lesi tidak dapat ditampilkan secara tepat pada plane yang sama seperti gambar yang pertama. Permasalahan dengan jarak volume dapat menhasilkan kesimpulan yang salah tentang tidak adanya lesi, pengurangan atau peningkatan dari ukurannya.
Jumlah yang abnormal dari besi, memproduksi intensitas yang rendah pada PDWI/T2WI, telah dilaporkan pada thalamus dan basal ganglia pada pasien dengan multiple sclerosis kronis. Ini ditemukan secara tidak spesifik, telah didiskripsikan pada berbagai kondisi yang berbeda termasuk parkinson’s disease, multisystem atrophy, kondisi degenerative lainnya.
Pasien dengan gejala lesi pada saraf karnial atau medulla spinalis harus mendapatkan penemuan yang lengkap dari otaknya tentang lesi yang ada. Pasien tersebut dengan lesi otak yang lain mempunyai kesamaan klinis dengan penderita MS. Sekitar 50 % sampai 75 % pasien dengan neuritis optic pada MS akan semakin meningkat. Penyakit lainnya seperti sarcoid, sifilis, tuberculosis, infeksi virus, ischemic disease, penyakit limfe. Banyak gejala-gejala yang berhubungan dengan MS. Devic’s disease atau neuromyelitis optica menampilkan keadaan MS akut, menyebabkan myelitis dan bilateral optic neuritis. Gejalanya mungkin berlangsung secara simultan atau terpisah dalam hari atau minggu. Balo’s disease (concentric sclerosis) menampilkan gambaran histology dari lesi MS dengan daerah yang terpusat pada demyelinisasi dan otak yang normal. Jarang adanya gambaran yang sama yang dapat diamati pada PDWI/T2WI. Sclerosis difus (Schilder’s disease) bersifat akut, secara cepat bentuk progressive dari MS dengan bilateral simetris demyelinisasi. Ini dapat ditemukan pada anak-anak dan jarang setelah umur 40 tahun. Karakteristiknya berupa demyelinisasi yang luas dengan dinding yang melingkupinya, sering melibatkan semiovale sentral dan lobus occipitalis.
Lesi pada medulla spinalis sering ditemukan pada MS, dan harus berhati-hati pada pasien dengan mielopati tanpa diagnosis MS yang mana hasil MR adanya perluasan medulla tanpa atau dengan peningkatan dan intensitas tinggi pada PDWI/T2WI (gambar 7.9).
Gambar 7.9 MS medulla spinalis. A. pasien dengan menderita myelopathy. Potongan sagital T2WI menunjukkan adanya pembesaran medulla spinalis dengan intensitas tinggi di dalamnya (tanda panah) hal ini penting pada pasien dengan usia muda yang menderita myelopathy dan mempunyai lesi pada medulla spinalisnya, scanning pada otak, biasanya sebelum dilakukan bedah dilakukan pembuatan diagnosis pasti. B. adanya gambaran lesi dengan intensitas tinggi yang berhamburan pada otak.
Pada tabel 7.2 terdapat diferential diagnosis dari pembesaran medulla spinalis. Yang paling penting, MS harus dipertimbangkan ke dalam differential diagnosis tersebut. Sebelum kita menyarankan untuk melakukan biopsy pada medulla spinalis, alahkah baiknya untuk mengutamakan kembali pemeriksaan pada otak. Meskipun sampai 20 % dari pasien dengan MS medulla spinalis mungkin mempunyai hasil normal pada otaknya, adanya intensitas tinggi yang abnormal di otak akan membuat keputusan MS dengan clinical setting yang tepat.
Kontras dapat berguna dalam mengisi criteria diagnosis untuk membatasi MS yang adanya peningkatan atau tidaknya lesi adalah polyphasic disease misalnya MS. Akan tetapi pendapat tersebut tidak sempurna. Jadi keadaan inflamasi seperti vaskulitis mungkin memiliki lesi yang meningkat dan tidak meningkat. Oleh sebab itu, peningkatan dari beberapa tetapi tidak semua kelainan intensitas tinggi pada PDWI/T2WI mendukung diagnosis dari MS, padahal jika semua lesi meningkat, MS mungkin akan agak menurun.
Kata-kata Peringatan. Jalur terakhir dengan untuk intensitas tinggi pada PDWI/T2WI adalah meningkatnya kandungan air. Sayangnya, meskipun MR sensitive, ini spesifitasnya kurang, khususnya ketika menginterpresentasikan tanpa adanya informasi klinis. Itu seharusnya menjadi suatu perhatian pada MR tentang 10 % pasien kurang dari 55 tahun mempunyai kelainan intensitas tinggi white matter dengan tidak signifikan pada PDWI/T2WI.
Hal ini menjadi perhatian bagi radiolog untuk memahami bahwa diagnosis dari MS berdasarkan tanda-tanda klinis dan gejala pada pasien. Peranan utama dari imaging adalah (1) mengkorfirmasi atau tidak kecurigaan klinis dari MS, (2) untuk memberikan saran diagnosis alternative untuk pasien neurologis. MR sendiri tidak dapat membuat diagnosis dari MS. Ini dapat menyarankan penyakit tersebut, tetapi tanpa mendukung data klinis diagnosis lainnya. Pengetahuan yang sedikit dapat sangat berbahaya. Memikirkan tentang pasien yang masih muda yang sedang diperiksa dengan MR untuk sakit kepala atau beberapa gejala lainnya yang tidak berhubungan, dan beberapa sinyal abnormal yang berhamburan diteliti. Sebuah laporan yang memberikan nama pada penampakan sebagai MS adalah kekeliruan dan dapat membahayakan keselamatan penderita, karier dan kehidupannya. Peringatan didesak ketika interpretasi dari intensitas tinggi yang abnormal dibuat tidak sesuai dengan informasi klinis.
Untuk dunia ketiga radiolog termasuk paragraph berikutnya pada penemuan CT untuk MS. Jika pembaca tidak senang dengan ini, merasa bebas untuk merobek paragraph dan mengirimnya yag mungkin membutuhkan informasi tetapi tidak berusaha untuk membuka buku. Di lain pihak, jangan memotongnya karena administrasi mungkin menyarankan bahwa CT lebih efektive dari pada MR.
CT mendemostrasikan region dengan densitas rendah secara predominan pada white matter. Pasien dengan MS yang lama atau telah dirawat dengan steroid mungkin menunjukkan adanya atropi. CT menunjukkan adanya peningkatan secara active pada MS. Kontras intravenous iodine dosis tinggi (> 80 g iodine) dan penundaan scanning (sekitar 20 sampai 30 menit) adalah teknik yang digunakan untuk meningkatkan visualisasi dari peningkatan plak. CT memberikan pola gambaran meliputi bentuk nodular dan cincin. Secara umum penampakan tersebut akan hilang jiga gambar diambil 1 jam setelah kontras disuntikkan.
1.2. Diagnosis Banding dari Lesi MS pada MR
Lesi berikut adalah bukan karena proses demyelinisasi primer tetapi seolah-olah MS pada kenampakan di MR. meliputi lyme disease, focus white matter hipertensi, Virchow-Robin space, dan lesi yang berhubungan dengan migraine.
Lyme disease. Banyak proses yang dipertimbangkan dalam diagnosis banding dari white matter multiple dengan sinyal abnormal pada PDWI/T2WI. Kondisi ini menunjukkan adanya lesi dengan atau tanpa peningkatan dan terjadi dalam populasi pasien yang sama dengan MS. Sebuah infeksi yang penting yang memunculkan gejala yang sama dengan MS yaitu Lyme disease. Hal ini didiskusikan secara menyeluruh pada bagian infeksi, akan tetapi lyme disease dapat mempunyai lesi dengan intensitas yang tinggi pada PDWI/T2WI yang meningkat (Gambar 7.10).
Gambar 7.10 lyme disease A. T2WI ditunjukkan dengan lesi berintensitas tinggi seluruh parenkim otak. B. banyak dari daerah tersebut yang mengalami peningkatan.
Pasien dengan AIDS dan neurosarcoid talah berhamburan sinyal dengan intensitas tinggi yang abnormal pada PDWI/T2Wi. Vasculitis termasuk dalam angiitis primer dari central nervous system, Behcet’s disease, sifilis, dan lupus seharusnya menjadi diagnosis banding dari MS baik secara klinis maupun radiologis. Kerusakan axon yang diffuse menyebabkan sinyal tinggi yang abnormal pada PDWI/T2WI pada grey-white junction, brain stem, corpus callosum, dan internal capsule tetapi seharusnya mempunyai riwayat yang tepat.
Hipertensi dan lesi iskemik white matter. Kelainan intensitas tinggi pada PDWI/T2WI secara umum meningkat dengan bertambahnya usia dan juga berhubungan dengan hipertensi (gambar 7.11).
Gambar 7.11 Unidentified Bright Objek (UBO). Tanda panah menunjukkan kelainan multiple intensitas tinggi pada T2WI pasien dengan hipertensi.
Pada pasien dengan malignant hipertensi terdapat kelainan intensitas tinggi pada otak mungkin dapat ditemukan, hamper mewakili rion cerebral edema (gambar 7.12). ketika perawatan yang tepat diberikan, area dengan kelainan tersebut akan menurun dalam ukurannya, bahkan bisa dirombak.
Gambar 7.12 pasien dengan eklamsia. A. daerah bilateral occipital yang berintensitas tinggi pada T2WI, lesi bersifat sementara. B. T2WI 2 bulan kemudian
Lesi iskemik white matter kmungkin memiliki dua variasi (1) lesi yang melibatkan penyebaran air dari arteri utama cerebral (arteri cerebral anterior, middle, dan posterior) atau (2) lesi yang disebabkan oleh penyakit intrinsic dari penetrasi arteri medular (arteriolar sclerosis). Istilah leukoaraiosis juga di berikan secara simetris atau difuse bilateral perubahan periventricular white matter dalam region ini. Leukoaraiosis berhubungan dengan peningkatan usia dan keberadaan penyakit pembuluh darah kecil yang disebabkan oleh lacunar infark. Sinyal tinggi pada PDWI/T2WI telah diidentifikasi pada region subependimal dan diperkirakan berhubungan dengan iskemik dengan substrat histopatologi dari myelin pallor (staining yang lemah pada myelin dengan luxol fast blue, gliosis, dan dilatasi ruang perivaskular). Kelainan sinyal tinggi dipisahkan dari permukaan ventricle pada penderita yang telah ditemukan infark pada white matter bagian dalam. Area infark sebenarnya lebih kecil dari pada sinyal tinggi pada PDWI/T2WI dan mungkin berhubungan dengan peningkatan air dan protein, penyerapan astrosit sepanjang selubung myelin (isomorfik gliosis).
Virchow-Robin spaces Virchow robin spaces adalah invaginasi dari ruang subarachnoid kedalam otak yang berhubungan dengan leptomeningeal vessels (gambar 7.13).
Gambar 7.13 Virchow Robin space A. axial yang melalui ventricle menunjukkan bentuk tuba pad daerah occipital B. bila Virchow-Robin spaces dipotong eperti salami, dapat dilihat kelainan punctuate high singnal intensity pada T2WI, yang mana diinterpretasikan sebagai lesi white matter.
Dilatasi perivaskuler terjadi dengan karakteristik tertentu pada lokasi, secara tipical pada basal ganglia, disekitar atria, dekat dengan commisura anterior, di corona radiate, centrum semiovale, dan otak tengan stem medial dan posterior ke porsio reticular dari substansia nigra. Biasanya mereka mengikuti intensitas dari CSF, menjadi hipointensitas pada T1WI dan PDWI, dan hiperintensitas pada T2WI. PDWI adalah yang terbaik untuk mendiskriminasikan ruang perivaskular dari lesi white matter karena perivaskuler tetap isointensitas terhadap CSF padahal lesi hiperintensitas pada hasilnya. Titik dari lesi dan perivaskuler adalah hipointensitas pada T1WI dan hiperintensitas pada T2WI. Biasanya gliosis mungkin berhubungan dengan ruang ini, menyebabkan ruang perivaskular menjadi terang pada PDWI. Ruang ini mempunyai bentuk linear ketika potongan sepanjang axis dari struktur tetapi tampak sebagai region punctata ketika gambar dipotong perpendicular sepanjang ruang perivaskular.
Virchow-Robin spaces cenderung meluas dengan bertambahnya usia dan keadaan hipertensi sehingga ruangan menjadi lebih ecstatic. Keadaan ini disebut sebagai etat crible yaitu suatu dilatasi dari ruang perivaskular, biasanya dengan penpisan dan pallor pada myelin perivaskular berhubungan dengan pengurangan, atropi dan isomorfis gliosis sekitar pembuluh darah.
2. Penyakit Demielinasi Sekunder
2.1. Ensefalomielitis Diseminata Akut (Acute Disseminated Encephalomyelitis/ ADEM)
ADEM adalah penyakit monofasik yang pada masa kecilnya terdapat riwayat infeksi virus, imunisasi virus, atau penyakit eksantem. Meskipun tidak terbatas pada infeksi virus, namun pada umumnya penyakit ini muncul setelah penderita terinfeksi measles, varicella dan rubella. Penyebabnya diduga karena reaksi silang antara alergi atau autoimun yang menyerang myelin dengan protein virus. Gejalanya sama dengan episode tunggal multiple sklerosis (MS) akut. Lesi yang terjadi dapat multiple dengan intensitas tinggi pada proton density weighted images (PDWI)/ T2 weighted images (T2WI) (Gambar 7-14). Enam bulan sejak penyakit tersebut dimulai, tidak tampak lesi baru dengan magnetic resonance (MR). ADEM dapat menyebabkan batang otak atau medulla spinalis membesar yang sering tampak seperti gambaran massa, biasanya sering terlihat pada serebrum. Sindroma klinik mielitis transversa akut yang muncul antara lain cranial nerve palsy, acute cerebellar ataxia, atau neuritis optikus. Lesi substansia nigra dapat juga diidentifikasi. Pada umumnya diagnosis dibuat berdasarkan riwayat penyakit yang terjadi sebelumnya dan adanya limfositosis pada cairan serebrospinal serta peningkatan protein. Kejadian mortalitas ADEM adalah sebesar 30% termasuk yang mendapatkan terapi steroid. Meskipun jarang, spektrum akhir pada ADEM adalah leukoensefalitis hemoragik dengan perdarahan white matter dan demielinasi.
Gambar 7-14 Ensefalomielitis diseminata akut. A, ADEM (tanda panah) terlihat seperti MS dengan PDWI. B, ADEM pada brain stem (tanda panah) atau spinal cord. C, ADEM kadang-kadang muncul dengan gambaran neuritis optical. Enhancement terlihat pada kiasma optikum pada T1WI sagital. Meskipun jarang terjadi, namun harus tetap waspada dengan adanya gambaran ADEM.
2.2. Leukoensefalopati Progresif Multifocal (Progressive Multifocal Leukoenchephalopathy/ PML)
PML adalah penyakit demielinasi yang sebabkan oleh papovavirus dan imunosupresi (Tabel 7-3). PML dapat terjadi pada semua regio otak, tapi pada umumnya di regio parietal, dapat soliter atau multifocal dan terutama pada pasien AIDS. Pada MR, PML tampak sebagai regio fokal intensitas rendah T1WI dan intensitas tinggi PDWI/ T2WI, lebih sering tanpa peninggian (Gambar 7-15).
Gambar 7-15 Leukoensefalopati multifocal progresif. A, pada umumnya tampak PML menggambarkan kekurangan efek massa atau peninggian (kanan). Kiri, menunjukkan intensitas high signal PDWI di substansia alba dan korpus kalosum. Tampak confluent pattern (gambaran anak sungai) di sisi kiri dan area fokal di sisi kanan. B, Jarang pada PML, peninggian T1WI sagital, massa tampak sebagai lesi di korpus kalosum.
Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada epidemi AIDS sekitar 1-7%. Meskipun jarang dikenali, PML dapat berupa lesi massa, jarang terjadi peninggian, dan dapat menginfeksi substansia grisea. PML termasuk infeksi yang fatal, dapat menyebabkan kematian enam bulan sampai satu tahun setelah onset penyakit. Diagnosis banding PML antara lain lesi di substansia alba pada pasien imunosupresi atau AIDS.
2.3. Panensefalitis Sklerosis Subakut
Panensefalitis sklerosis subakut disebabkan oleh virus measles, namun belum jelas bagaimana virus intraseluler ini dapat menyebabkan infeksi kronis. Demielinasi sebagian besar substansia alba tidak sempurna, subcortical U fibers terpisah. Pada umumnya juga terjadi atropi. Diagnosis ditegakkan jika ditemukan inklusi intranuklear (cow-dry tipe A) pada biopsi atau otopsi otak.
2.4. Penyakit Binswanger’s (Ensefalopati Arteriosklerosis Subkortikal)
Penyakit Binswanger’s, ditemukan pada tahun 1984, merupakan penyakit demielinasi yang dapat menginfeksi baik wanita maupun pria usia diatas 55 tahun. Penyakit ini berhubungan dengan hipertensi (+ terjadi pada 98% pasien hipertensi) dan infeksi lakunar. Pasien dapat terserang stroke akut diikuti dengan penurunan mental atau perubahan status mental dengan penurunan ingatan, demensia, gangguan psikiatris, kejang, inkontinensia urin dan gangguan gaya berjalan. Pada CT tampak gambaran dengan densitas rendah pada substansia alba, pemeriksaan ini kurang sensitif. MR menunjukkan perubahan yang luas pada substansia alba di regio frontal-parietal-occipital sampai sentrum semiovale, biasanya berhubungan dengan penyakit lakunar (gambar 7-16).
Gambar 7-16 Ensefalopati ateriosklerosis subakut. Tampak area fokal infark lakunar (tanda panah di basal ganglia dan stroke MCA kanan fokal. Pasien mengalami onset subakut psikosis, kejang tunggal, dan amnesia.
Pemeriksaan histopatologi pada penyakit binswanger’s biasanya terlihat demielinasi dengan pemisahan axonal relatif, dan berhubungan dengan arteriosklerosis pada arteri dan arteriol substansia alba. Infeksi lakunar terjadi pada lebih dari 90% kasus. Subcortical U fibers yang mendapatkan vaskularisasi dari arteri medularis dan arteri kortikal mengecil akibat iskemia. Penyakit binswanger’s berbeda dengan demensia multiinfark karena hanya mengenai substansia alba dan tidak terdapat sindroma strok fokal.
2.5. Ensefalopati Postanoksik
Ensefalopati postanoksik muncul setelah episode anoksik parah hingga menyebabkan koma. Pasien membaik 24 – 48 dan kemudian kemudian mengalami penurunan kesadaran dalam dua minggu hingga koma dan meninggal dunia. Perubahan patologis berupa demielinasi dan nekrosis terjadi pada white matter. CT memperlihatkan adanya gambaran difus dengan densitas rendah pada white matter dan hilangnya parenkim. MR memperlihatkan signal tinggi dengan PDWI/ T2WI pada keseluruhan white matter. Secara klinis, paparan karbon monoksida dapat menunjukkan gambaran yang sama pada MR, bedanya pada keracunan karbon monoksida akan tampak lesi simetrik pada globus palidus. Diagnosis banding bilateral lesi basal gangla tampak pada table 7-4.
2.6. Mielinolisis Pontin Sentral atau Demielinasi Osmotik
Mielinosis pontin sentral adalah gangguan demielinasi pada alkoholik, kekurangan tenaga (debilitated) atau pasien kekurangan gizi yang mendapatkan koreksi terlalu cepat pada hiponatremi. Pada umumnya dalam beberapa hari secara subakut kondisi pasien dapat memburuk sampai koma, quadriparesis, pseudobulbar palsi, dan sindroma motor ekstrapiramidal. Internis membutuhkan konsultasi dengan radiologis. Kondisi ini dapat menjadi fatal, namun dengan meningkatkan kewaspadaan diagnosis ini, pasien mungkin dapat bertahan dan seringkali dengan kerusakan neurologi yang signifikan. Penyakit ini menerang struktur ekstrapontin termasuk thalamus, putamen, nucleus kaudatus, kapsula internal dan eksternal, amigdala dan serebellum bahkan pada lapisan yang lebih dalam yaitu korteks insular dan regio subkortikal (Gambar 7-17).
Gambar 7-17. A, Demielinasi osmotic, dengan menggunakan CT tampak densitas rendah di basal ganglia dan intensitas rendah T1WI di kapsula interna, kapsula interna (tanda panah hitam) dan extreme capsule (tanda panah putih). B, PDWI (kiri) dan T2WI (kanan) menunjukkan intensitas tinggi pada kedua thalamus.
Penyakit ini juga dapat menyerang substansia grisea dan kedua korteks insular. Demielinasi terjadi tanpa reaksi inflammasi dan terjadi penyempitan pembuluh darah, sel saraf, dan akson. Pada pons, PDWI/ T2WI tampak intensitas tinggi dengan penyempitan tegmentum dan rim perifer jaringan pontin sentral (Gambar 7-18).
Gambar 7-18. Mielinolisis pontin sentral. Tampak intensitas high signal T2WI di pons.
2.7. Alkoholisme
Pecandu alkohol dan kondisi lain dengan malnutrisi dapat memicu demielinasi korpus kalosum secara akut maupun kronik. Pasien dengan kondisi seperti ini hanya dapat bertahan beberapa tahun. Keadaan ini tampak sebagai kelainan low signal pada T1WI terutama pada potongan sagital dan tampak sebagai high signal pada PDWI dan T2WI (Gambar 7-19).
Gambar 7-19. Penyakit Marchiava-Bignami. T1WI sagital pada pasien penyakit Marchiava-Bignami kronik tampak intensitas rendah di splenium (tanda panah) dan atrofi korpus kalosum serta ada riwayat intoksikasi alcohol.
Pada kasus enselopati akut akibat kecanduan alkohol dapat diagnosis banding dari kelainan ini adalah variasi mielinolisis ekstrapontin dan memiliki eponym sindroma Marchiafava-Bignami. Pada mielinolisis ekstrapontin demielinasi terjadi secara luas dan tidak hanya pada korpus kalosum melainkan juga pada regio otak lainnya. Kondisi tersebut juga didapatkan pada ensefalopati pada pecandu alkohol.
2.8. Obat dan Kondisi Lain
Kondisi toksik lainnya juga dapat menyebabkan perubahan sementara (reversibel) maupun permanen substansia alba (Tabel 7-5). Overdosis siklosporin dapat terlihat sebagai paradigma drugs-induced lesi substansia alba, menghasilkan abnormalitas high signal multifocal. Manifestasi klinis terjadinya neurotoksisitas antara lain kejang, gangguan penglihatan, confusion, quadriparesis, somnolen (drowsiness) atau koma. Dengan menggunakan CT didapatkan gambaran densitas rendah dan intensitas high signal pada T2WI di substansia alba, terutama regio oksipital. Kondisi tersebut dapat ditemukan pula pada ensefalopati hipertensi akut dan kondisi toksik lainnya (Gambar 7-20).
Gambar 7-20. Hipertensi maligna. A, Pasien hipertensi maligna tampak intensitas tinggi T2WI di kedua regio oksipital sebelum terapi (kiri) dan setelah terapi (kanan). B, Inensitas tinggi di substansia alba oksipital dan frontal pada pasien leukemia yang mendapatkan kemoterapi sitosin arabinosid.
Diduga kondisi toksik tersebut melibatkan endotelin neuropeptida sehingga mengaktifkan mediator vasokonstriksi fokal.
2.9. Degenerasi Wallerian
Pada degenerasi wallerian substansia alba mengalami atrofi dan memberikan gambaran abnormal high signal. Definisi degenerasi wallerian adalah destruksi antegrad akson dan selubung myelin akibat trauma pada proksimal akson dan badan sel. Trauma yang terjadi bias karena infark, perdarahan, penyakit substansia alba, dan neoplasma. Degenerasi wallerian relatif mudah dideteksi dengan menggunakan MR. Dengan alat tersebut akan tampak gambaran high intensity pada PDWI/ T2WI yang mengikuti jalur substansia alba (Gambar 7-21).
Gambar 7-21. Degenarasi wallerian setelah terjadi infark hemisfer. A, Signal tinggi T2WI koronal di kapsula interna kiri (tanda panah). High signal ini meluas menjadi atrofi pendunkulus serebral kiri (tanda panah).
2.10. Kemoterapi dan Leukoensefalopati Nekrosis Diseminata
Leukoensefalopati nekrosis diseminata (DNL) adalah penyakit demielinasi pada anak dengan leukemia yang sedang atau telah menjalani radiasi spinal atau cranial yang dikombinasikan dengan metroteksat intratekal. Terapi kombinasi (radiasi dan kemoterapi) leukemia, sarcoma tulang dan jaringan lunak, serta karsinoma paru pada dewasa juga dapat menyebabkan penyakit ini. Pasien DNL mengalami gangguan perkembangan ditandai dengan perubahan neurologic antara lain kejang yang biasanya berkembang menjadi koma dan kematian. Gejala neurologik tersebut ditandai dengan densitas rendah substansia alba. Temuan patologi pada DNL antara lain axonal swelling, demielinasi multifocal, nekrosis koagulasi, dan gliosis. Perubahan-perubahan tersebut biasanya terjadi di regio paraventrikuler dan centrum semiovale. DNL dan delayed radiation necrosis memiliki sedikit perbedaan pada interval antara terapi dan onset dari penyakit. Tidak ada perbedaan pada CT atau MR. Dengan menggunakan MR kelainan tersebut akan tampak sebagai high intensity pada PDWI/T2WI pada substansia alba (Gambar 7-22).
Gambar 7-21. Leukoensefalopati nekrosis disseminate. A, Massa tampak dengan CT. B, Pasien yang mendapat terapi metotreksat dan radiasi
Trauma substansia alba kemoterapeutik lebih sering terjasi pada anak. Hal tersebut dapat menyebabkan perubahan pada substasnia alba sehingga tidak dapat dibedakan oleh radiasi. Abnormal high signal substansia alba sementara, yang bukan disebabkan oleh DNL, pada anak yang sedang menjalani kemoterapi leukemia limfosit akut dapat diatasi dengan cara menghentikan kemoterapi. Kelainan tersebut tampak jelas dengan kemoterapi metotreksat. Kateter ventrikel yang digunakan secara terus menerus untuk kemoterapi tersebut menyebabkan trauma pada otak berupa nekrosis fokal. Seringkali gambaran intensitas tinggi PDWI/ T2WI MR atau densias rendah dengan peningkatan fokal tampak pada daerah didekat kateter tersebut berada. Sehingga, kemoterapi dan atau terapi radiasi dapat menyebabkan lesi massa fokal dan perubahan substansia alba yang memiliki karakteristik intensitas tinggi PDWI/ T2WI atau densitas rendah yang tampak dengan menggunakan CT.
3. Penyakit Dismielinasi
Penyakit dismielinasi sangat jarang terjadi. Gambarannya aneh dan terutama tampak dengan menggunakan MR. Seringkali tampak intesitas tinggi difus pada substansia alba.
3.1. Leukodisrofi Metakromatik
Leukodisrofi metakromatik (MLD) adalah penyakit dismieinasi yang paling sering terjadi. Penyakit tersebut bersifat autosomal resesif dan terjadi karena defisiensi arilsulfatase A yang berfungsi menghdrolisis sulfatida menjadi serebrosida. Pewarnaan metakromatik granula lipid (sulfatida) dapat terlihat diantara neuron dan terjadi kehilangan myelin secara difus pada sraf pusat dan tepi. MLD terjadi pada semua umur (late infatile, remaja, dan dewasa) yang mungkin juga dipengaruhi oleh derajat defisiensi enzim tersebut. Diagnosis pastinya adalah dengan didapatkannya penurunan kadar enzim arisulfatase pada leukosit perifer dan urin. Gejala klinis yang timbul antara lain neuropati, psikosis, halusinasi, delusi, gangguan cara berjalan, hipotonia dan demensia. Pada substansia alba akan tampak densitas rendah simetris dengan menggunakan CT dan high signal difus PDWI/T2WI (Gambar 7-23). Pada orang dewasa, biasanya akan tampak lesi mulifokal substansia alba di daerah lobus frontalis dan atrofi dengaan dilatasi ventrikel. MDl juga melibatkan subcortical U fibers.
Gambar 7-23. Leukodistrofi metakromik
3.2. Adrenoleukodistrofi
Adrenoleukodistrrofi adalah kelainan terkait sex atau autosomal resesif (neonatal) dengan degenerasi cerebral dan insufisiensi kortikal adrenal (kadang tidak tampak pada klinis). Gangguan pada peroksisom β-oksidase asam lemak rantai panjang yang terakumulasi pada substansia alba, korteks adrenal, plasma dan sel darah merah. Meskipun diklasifikasikan sebagai penyakit dismielinasi, namun karakteristik penyakit ini seperti penyakit demielinasi dengan inflamasi vaskuler prominen dan demielinasi yang luas. Manifestasi klinis yang terjadi antara lain gangguan pedengaran dan pengllihatan, behavior difficulties, dan kejang. Fenotip dan gambaran karakteristik adrenoleukodistrofi bermacam-macam. Salah satu tipenya yaitu penyakit ini awalnya timbul pada regio parietooksipital dan berkembang kearah depan sampai temporal dan lobus frontalis serta korpus kalosum. Penyakit ini juga dapat bermula dari depan ke belakang. Pada tepi lesi merupakan daerah yang aktif mengalami demielinasi dan terjadi peninggian sedangkan daerah yang tidak terjadi peninggian mengalami gliosis (Gambar 7-24).
Gambar 7-24. Adrenoleukodistrofi.
Jalur substansia alba pada pasien akan tampak mengalami peninggian dan pembesaran. Selain itu juga tampak kalsifikasi pada trigonum atau disekitar frontal horns, efek massa pada daerah demielinasi lanjut, dan menyebabkan lobus frontal terisolasi. Dengan menggunakan MR akan tampak penurunan relatif subcortical U fibers. Penyaki sumsum tulang dapat disertai dengan degenerasi selurh bagian kortikospinal dan atrofi cord.
3.3. Penyakit Alexander’s
Penyakit alexander’s adalah penyakit nonneoplasma astrosit akibat degenerasi astrsoit dan serat rosental difus pada subependimal, subpial, dan daerah perivaskular. Penyakit tersebut digolongkan menjadi tiga kelompok. Kelompok infantil memiliki gejala klinis antara lain kejang, spastisitas, retardasi psikomotor, dan megaensefali akibat demielinasi yang luas. Kelompok juvenile (7-14 tahun) menunjukkan gejala simtom bulbal progresif dengan spastisitas dan kelompok dewasa gejala klinisnya sama dengan MS atau bahkan asimtomatik. Pada kelompok juvenile dan dewasa kondisi neuronnya terjaga dan sedikit kehilangan myelin. Dengan menggunakan CT akan tampak hiperdensitas pada nucleus kaudatus dan hipodensitas difus pada substansia alba, kapsula internal dan eksternal. Peninggian tampak pada gejala awal penyakit. Pada substansia alba tampak hipointensitas T1WI dan hiperintensitas PDWI/ T2WI hamper tidak tampak. Pada penyakit ini juga pernah didapatkan atrofi batang otak dan penurunan intensitas basal ganglia.
3.4. Penyakit Canavan’s
Penyakit canavan’s (degenarasi spongiform) merupakan autosomal resesif leukodistrofi akibat defisiensi enzim aspartosiklase. Penyakit ini mulai timbul 2-4 bulan, ditandai dengan pembesaran otak, hipotonia, gangguan pertumbuhan yang diikuti dengan kejang, atrofi optic, dan spastisitas. Kematian biasanya terjadi pada usia 5 tahun. Spektroskopi proton akan menunjukkan kadar N-asetilaspartat yang tinggi, yang dihasilkan oleh mitokondria, yang dibawa oleh kelompok asetil melintasi menran mitokondria. Di sitosol aspartoasilase memecah N-asetiaspartat menjadi asetat dan aspartat. Defisiensi enzm ini dapat menyebabkan terganggunya suplai asetat untuk sintesis asam lemak dan mielinasi. Penyakit ini terjadi pada substansia grisea dan subkortikal substansia alba simetrik (high signal PDWI/ T2WI) dan dapat menyebabkan ventrikulomegali (Gambar 7-25). Penyakit alexander’s dan canavan’s merupakan diagnosis banding dari makrosefali.
Gambar 7-25. Penyakit Canavan’s
3.5. Penyakit Krabbe’s
Penyakit krabbe’s disebabkan oleh defisiensi ktifitas β-galaktosida. Biasanya terjadi pada usia enam bulan. Gejala klinisnya antara lain kejang, spastisitas, dan retardasi psikomotor progresif. Karakteristiknya adalah adanya infiltrasi sel globoid dan demielinasi. Densitas dengan menggunakan CT meningkat (beberapa menunjukkan adanya kalsifikasi) pada basal ganglia, thalamus, korona radiata, dan korteks cerebral, dan hiperintensitas PDWI/ T2WI pada substansia alba cerebral dan cerebellar pada penyakit atrofi yang lama.
3.6. Leukodistrofi Sudanofilik
Leukodistrofi sudanofilik merupakan gangguan myelin degenerasi akibat akumulasi materi sudanofilik di otak. Dengan menggunakan CT terlihat atrofi, substansi grisea tampak densitasnya rendah, dan terdapat kalsifikasi periventrikuler. Pelizaeus-Merzbacher adalah bentuk dari leukodistrofi sudanofilik. Penyakit tersebut merupakan penyakit dismielinasi X-linked resesif, dapat terjadi pada berbagai usia, biasanya pada bulan pertama kelahiran (namun dapat juga tampak pada neonates sampai bayi), perkembangan penyakitnya lambat. Penyakit ini dikelompokkan menjadi tiga kelompok, klasik (perkembangan penyakitnya lambat diikuti kematian saat dewasa muda), connatal (lebih parah, diiukti kematian di tahun pertama kelahiran), dan transisional (tidak begitu parah dibandingkan connatal, dan biasanya kematian terjadi pada usia 8 tahun). Pada penyakit ini terjadi kelainan kematangan myelin disebabkan defisiensi protein proteolipid dan berkurangnya protein myelin. Manifestasi klinisnya antara lain gerakan mata yang aneh tidak sesuai dengan gerakan kepala, retardasi psikomotor, dan ataksia cerebellar. Diagnosis banding penyakit ini adalah cerebral palsy pada pria terutama jika ada riwayat keluarga menunjukkan gejala yang sama. Saat awal pemeriksaan menggunakan CT atau MR akan tampak normal, namun selanjutnya cerebral, cerebellar, batang otak, dan spinal cord cervical akan atrofi. Dengan menggunakan MR akan meningkatkan signal di subatansia alba dan intensitas rendah PDWI/T2WI di nucleus lentiformis, substansia nigra, nucleus dentatum, dan thalamus. Terdapat pola “tigroid” dan pada pemeriksaan histopatologi ditemukan neuron dan myelin yang abnormal secara difuse di substansia alba. Korpus kalosum juga mengalami atrofi dan undulasi.
Alih Bahasa Oleh:
Satrio Pratomo, S.Ked
Nur Ilhaini Sucipto, S.Ked
bagaimana cara pengobatannya
BalasHapus